Ada hadits tentang silaturahim dari Bulughul Maram yang patut direnungkan.
Hadits #1449
وَعَنْ اَلنَوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ – رضي الله عنه – قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ اَلْبِرِّ وَالْإِثْمِ? فَقَالَ: – اَلْبِرُّ: حُسْنُ اَلْخُلُقِ, وَالْإِثْمُ: مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ, وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ اَلنَّاسُ – أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang al-birr (kebaikan) dan al-itsm (dosa).” Beliau menjawab, “Al-birr adalah husnul khuluq (akhlak yang baik). Sedangkan al-itsm adalah apa yang menggelisahkan dalam dadamu. Engkau tidak suka jika hal itu nampak di hadapan orang lain.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 2553)
Takhrij Hadits
Hadits ini dari An-Nawwas bin Sim’an, ada yang menyebut pula dengan As-Sam’an. Namun yang lebih masyhur adalah As-Sim’an. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Al-Birr wa Ash-Shilahwa Al-Adab, Bab Tafsir Al-Birr wa Al-Itsm (2553), dari jalur Mu’awiyah bin Shalih, dari ‘Abdurrahman bin Jubair bin Nufair, dari bapaknya, dari An-Nawwas bin Sim’an Al-Anshari.
Yang tepat bukan Al-Anshari, namun Al-Kilabi, itulah yang lebih masyhur.
Di dalam manuskrip Bulughul Maram disebut An-Nawwas bin Sim’an radhiyallahu ‘anhu, yang tepat adalah radhiyallahu ‘anhuma karena bapaknya juga termasuk sahabat.
Faedah Hadits
- Kata para ulama, al-birr bisa bermakna silaturahim (menjalin hubungan dengan kerabat). Kadang juga bisa bermakna cara bergaul yang baik. Juga al-birr bisa bermakna ketaatan. Semua ini termasuk bagian dari husnul khuluq (akhlak yang mulia). Demikian penjelasan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 16:101.
- Akhlak yang mulia adalah bentuk kebaikan yang paling utama.
- Akhlak yang mulia (husnul khulq) adalah berakhlak dengan akhlak yang sesuai syari’at dan beradab dengan adab yang diajarkan oleh Allah kepada hamba-Nya.
- Al-birr (kebaikan) dimutlakkan untuk setiap perbuatan ketaatan yang lahir maupun yang batin. Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa (7:165) menyebutkan bahwa al-birr adalah segala bentuk perintah Allah.
- Al-birr juga bisa dimaknakan dengan lawan dari ‘uquq (durhaka). Sehingga ada istilah birul walidain, berbuat baik kepada kedua orang tua. Al-birr dalam istilah bermakna berbuat baik dan menyambung hubungan dengan kedua orang tua.
- Al-birr juga kadang dikaitkan dengan takwa. Pada saat ini, al-birr berarti menjalankan konsekuensi keimanan dan berakhlak mulia. Sedangkan takwa berarti menjauhi segala yang Allah larang berupa kekufuran, kefasikan, dan maksiat.
- Husnul khuluq (berakhlak baik) bisa jadi kepada manusia dan bisa jadi kepada Allah. Berakhlak kepada Allah mencakup menjalankan kewajiban, menjalankan hal sunnah, meninggalkan keharaman, juga meninggalkan yang makruh.
- Itsm atau dosa yang dimaksud dalam hadits adalah semua dosa.
- Yang dimaksud engkau tidak suka jika dosa itu nampak di sisi manusia. Manusia yang dimaksudkan di sini adalah orang berilmu dan paham agama. Kalau yang melihatnya sama-sama juga ahli maksiat, maka tidak akan punya rasa seperti itu.
- Hadits ini menunjukkan dorongan untuk berakhlak mulia.
- Dari hadits, dosa itu punya dua tanda: (1) tanda internal, yaitu jiwa merasa tidak tenang ketika melakukannya; (2) tanda eksternal, yaitu tidak senang dilihat oleh orang lain dan takut mendapatkan celaan mereka.
- Orang yang punya fitrah yang baik, malu untuk berbuat dosa dan malu untuk menampakkannya.
Keutamaan Silaturahim
Ibnu Hajar dalam Al-Fath menjelaskan, “Silaturahim dimaksudkan untuk kerabat, yaitu yang punya hubungan nasab, baik saling mewarisi ataukah tidak, begitu pula masih ada hubungan mahrom ataukah tidak.”
Dari Abu Ayyub Al-Anshari, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga, lantas Rasul menjawab,
تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
“Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik kepada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahim (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Bukhari, no. 5983)
Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا – مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ – مِثْلُ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya [di dunia ini] -berikut dosa yang disimpan untuknya [di akhirat]- daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan memutus silaturahim (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Abu Daud, no. 4902; Tirmidzi, no. 2511; dan Ibnu Majah, no. 4211, shahih)
Abdullah bin ’Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ ، وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِى إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Seorang yang menyambung silahturahmi bukanlah seorang yang membalas kebaikan seorang dengan kebaikan semisal. Akan tetapi seorang yang menyambung silahturahmi adalah orang yang berusaha kembali menyambung silaturahim setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain.” (HR. Bukhari, no. 5991)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seorang pria mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdan berkata, “Wahai Rasulullah, saya punya keluarga yang jika saya berusaha menyambung silaturahim dengan mereka, mereka berusaha memutuskannya, dan jika saya berbuat baik kepada mereka, mereka balik berbuat jelek kepadaku, dan mereka bersikap acuh tak acuh padahal saya bermurah hati kepada mereka”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab, “Kalau memang halnya seperti yang engkau katakan, (maka) seolah- olah engkau memberi mereka makan dengan bara api dan pertolongan Allah akan senantiasa mengiringimu selama keadaanmu seperti itu.” (HR. Muslim, no. 2558)
Abdurrahman bin ‘Auf berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنا الرَّحْمنُ، وَأَنا خَلَقْتُ الرَّحِمَ، وَاشْتَقَقْتُ لَهَا مِنِ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بتَتُّهُ
“Allah ’azza wa jallaberfirman: Aku adalah Ar Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga haknya. Dan siapa yang memutusnya, niscaya Aku akan memutus dirinya.” (HR. Ahmad, 1:194, shahih lighoirihi).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985 dan Muslim, no. 2557)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ
“Siapa yang bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan diperbanyak serta keluarganya akan mencintainya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 58, hasan)
Wallahu waliyyut taufiq. Moga Allah memberi taufik dan hidayah untuk berakhlak yang luhur.
Referensi:
- Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm;
- Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 10:21-24.
—
Diselesaikan di Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 25 Ramadhan 1439 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com